Dua atau tiga tahun yang lalu kita pernah dikejutkan oleh kedatangan para pengungsi Vietnam ke Indonesia, karena terjadi konflik internal di negaranya. Berbulan-bulan lamanya mereka berlayar di lautan dengan menggunakan perahu, sebelum akhirnya mendarat di Indonesia.
Keadaan manusia perahu itu sangat memprihatinkan. Tubuh mereka kurus, wajah mereka tampak pucat, dan tak sedikit dari mereka yang terserang wabah penyakit seperti diare, tipus, gatal-gatal dan penyakit yang umumnya menjangkiti para pengungsi. Dan tentu saja keberadaan mereka menambah panjang list masalah yang terjadi di negeri.
Ada yang lebih memprihatinkan dari keberadaan manusia perahu, yaitu keberadaan manusia gerobak. Dan keadaan ini menjadi lebih memprihatinkan,
karena manusia gerobak bermukim di jantung kota Jakarta.
Jum̢۪at sore, salah satu stasiun televisi swasta terkenal, menayangkan potret manusia gerobak. Ya, manusia gerobak, mereka mendapat julukan demikian karena mereka tidak memiliki rumah sebagai tempat mereka berteduh. Mereka tidur dan menetap di dalam sebuah gerobak.
Pardan, demikian salah satu nama manusia gerobak itu. Ia dan seorang putrinya yang masih kecil, telah bertahun-tahun menghabiskan waktunya bersama gerobak. Gerobak Pardan bukan gerobak yang menyerupai rumah, bukan pula gerobak yang dimiliki oleh para tukang rokok yang kerap kita jumpai di trotoar jalan. Gerobak Pardan adalah gerobak terbuka tak lebih berukuran 1 x 2 meter2, gerobak yang sama digunakan oleh para pengangkut sayur di pasar.
Untuk menyambung hidup, Pardan yang pernah bekerja di sebuah toko, memungut kertas dan plastik bekas dari bak-bak sampah rumah-rumah besar di kawasan elit Menteng. Menjadi pemulung, demikian tepatnya profesi yang di geluti Pardan saat ini.
Setiap hari Pardan mengais sampah di kawasan elit Menteng itu, dengan menggunakan gerobaknya. Gerobak itu menjadi alat angkut sampah bagi Pardan di siang hari, dan berubah menjadi tempat untuk tidur di malam hari.
Bila malam tiba, Pardan memakirkan gerobaknya ke salah satu taman di wilayah Menteng. Ia segera mengeluarkan barang rongsokan yang ada di dalam gerobaknya, dibersihkannya gerobak tersebut, di beri alas kardus, dan di tataki kain batik lusuh, kemudian Pardan meletakkan anaknya yang berusia lima tuhun itu ke dalam gerobak. Sedang ia sendiri tidur di sebelah gerobak dengan menggunakan alas kardus. Deru kendaraan yang lalu lalang disekitarnya tidak membuat matanya sulit untuk terpejam. Pardan sudah sangat bersahabat dengan suara-suara kendaraan itu. Baginya deru kendaraan itu babgaimana irama musik penghantar tidur. Bila hari hujan, Pardan beserta si buah hati segera masuk ke dalam gerobak, dan segera menutup gerobak dengan selembar plastik bening.
Demikian Pardan dan putri kecilnya menghabiskan waktu bersama gerobaknya. Bukan keinginan Pardan untuk terus dalam kondisi yang sangat memprihartinkan itu. Kerasnya kehidupan di ibukota menghendaki dirinya untuk bertahan sebagai manusia gerobak.
*****
Pardan, adalah salah satu gambaran potret buram kota Jakarta. Masih banyak lagi Pardan-Pardan yang lain, yang hidup sebagai manusia gerobak.
Keberadaan manusia gerobak di kota metropolitan ini, seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah kota. Sehingga kebijakan pembangunan di ibukota negara ini tidak melulu berorientasi kepada pembangunan fisik semata, tetapi harus juga memperhatikan masalah masyarakat miskin. Karena keberadaan masyarakat miskin sangat rentan untuk menimbulan prahara sosial. Kesenjangan sosial yang sangat tajam diantara kaum kosmopolitan Jakarta dengan masyarakat miskin, dapat dengan mudah mencetus konflik sosial. Dan bila keadaan ini terus berlangsung, beragam kejahatan akan mudah muncul kepermukaan. Oleh karena diulang tahun kota Jakarta ke-478 ini, pemerintah kota Jakarta harus segera melakukan tindakan, sebelum hadiah bom waktu sosisal itu meletus. Bukankah tindakan kriminal amat mudah terlahir dari perut yang keroncongan?