19.51

Ganis dan Dilema


 Langit membentang luas bersemburat merah keemasan saat mentari kembali ke peraduannya. Memandang bayang-bayang cakrawala yang samar tapi menakjubkan setiap mata. Danau tiga warna berkerling manja saat senja menyapanya. Sungguh indah menawan Desa Bancang saat itu. Deru angin yang lembut membelai dedaunan hijau di sepanjang tepi danau. Ganis merasakan angin malam menusuk setiap pori-porinya. Dikenakannya sebuah mantel bulu tebal yang telah usang dan nampak warna aslinya. Dia tenggelam dalam selimut garis-garis dan segera berlayar di lautan mimpi. Gadis manis itu terlelap setelah seharian memeras keringatnya. Sinar rembulan seakan lancang menerobos sela-sela dinding papan rumah Ganis.
 ”Ganis.....”
 Mata Ganis terbelalak mendengar namanya disebut. Gadis itu melangkahkan kakinya secepat kilat menemui sumber suara itu. Sesosok wanita tua yang tirus berdiri di sisi sumur yang tampak kurang terawat.
 ”Iya, Bu!” Gadis itu tertunduk patuh pada wanita tua yang ada di hadapannya.
 ”Segeralah bersiap untuk menjajakan kue keliling kampung!” Suaranya lembut menenteramkan jiwa. Pagi ini terlalu dini untuk beranjak ke luar rumah. Mentari masih sedikit mengintip di ufuk timur. Sepertinya ia terlalu lelah untuk muncul kembali bersinar. Ganis tak bisa menahan semangat yang berlari mendahului raganya. Dengan senyum lebar ia jajakan kue ke seluruh penjuru desa, tak satupun sudut yang ia lewatkan. Di tepi danau ia melihat sesosok lelaki tinggi, tampan, dan tampak bersahabat.
 ”Samir.......!”Ganis menyapa pemuda itu dengan nada agak ragu. Pemuda itu menoleh sambil melempar senyum simpul. Ia memang pemuda yang rupawan dengan rambut ikal, hidung mancung, bibir merah merekah, dan kulit tak begitu putih tapi tetap mempesona.
 ”Kau rupanya. Ku pikir kau tak lagi mengenalku, Ganis!”
 ”Lama tak tampak. Rupanya kau sudah menjadi pemuda yang tampan,” Ganis memuji sepenuh hati. Mata mereka bersirobok dengan pandangan yang saling beradu mencari-cari perhatian. Mereka diam beberapa saat, hanya teriakan ombak kecil yang terdengar semakin semarak di tepi danau itu. Hanya sabda alam yang dibisikkan lembut membelai gendang telinga. Tak lama kemudian Ganis undur diri dari hadapan sahabat masa kecilnya itu.
 Hari mulai larut, Ganis yang semula merebahkan tubuhnya, kini mulai beranjak mendekati jendela. Matanya menerawang jauh ke arah danau. Ia masih melihat tubuh tegap Samir masih berdiri memandangi danau yang penuh kenangan itu.
 Ganis berkaca dan melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri dengan mata terpicing. Gurat wajahnya menggambarkan kelelahan hidup. Ia terlihat tegar meski luka hatinya menganga lebar. Ia ingat jelas malam itu, malam ketika emosi membuncah tak tertahan. Malam ketika ayah ibunya diselimuti badai pertikaian besar. Kata-kata kotor berulang kali menyeruak ke permukaan lidah. Kata-kata yang tak pantas didengar bocah seusianya kala itu. Satu kata yang ia ingat sampai saat ini, cerai! Itulah yang berulang kali ia dengar. Isak tangis ibundanya mewarnai gemercik air hujan yang melanda Desa Bancang kala itu. Malam itu terjadi dilema yang menghantui hidupnya. Satu yang ia ingat jelas, janji ayahnya yang belum ditepati, yaitu membawanya ke tempat yang jauh, ke Pasar Kerampung Surabaya.
 ” Tok....tok....tok...” Ganis segera membuka pintunya.
 ” Kau melamun, Nak?”
 ” Tidak, Bu! Ganis hanya sedang memikirkan sesuatu!”
 Rupanya ada tamu yang tak diundang telah menunggu di ruang tamu.
 ” Samir...............! Ada apa?”
 ” Ada sedikit perlu denganmu, Ganis!”
 ” Ada perlu apa?” Ganis mengerutkan keningnya.
 ” Bisakah kita berbincang di teras saja? Sepertinya udara di luar lebih segar!”
 Samir menawarkan sembari mengerling genit. Ia nampak lebih tampan dinaungi sinar rembulan. Sepertinya senyumnya tak pernah lelah tersunggingdi bibirnya yang merah menawan. Sejenak mereka terdiam, Samir tampak malu-malu mengawali pembicaraan, Ganis pun begitu. Rembulan tersipu malu melihat muda-mudi yang tengah salah tingkah itu. Angin danau berhembus memainkan kain kerudung Ganis dengan lemah gemulai. 
 ” Kau.............kau mau ikut aku?” Tanya Samir memecah keheningan. Ganis terhenyak sesaat. 
 ” Pergi kemana?” Tanya Ganis penasaran.
 ” Ke Surabaya. Aku besok kembali ke sana, mungkin kau mau ikut aku. Di sana aku mendapat kerja yang mapan sambil meneruskan kuliah. Aku pikir, kau juga bisa mendapat penghasilan yang lumayan di sana dibandingkan dengan menjual kue keliling yang hanya mendapat rasa lelah tanpa ada untung menjanjikan.” Samir menjelaskan panjang lebar. 
 ” Tapi.........ibuku? Bagaimana dengan ibuku? Aku tidak mungkin meninggalkan beliau sendiri di sini. Dan aku pikir menjual kue dapat menghidupi kami sampai saat ini!” Ganis tertunduk lesu.
 ”Ikutlah denganku, maka kau akan mendapatkan yang kau inginkan di sana. Barang tiga atau empat hari saja!” Samir membujuk Ganis.

 Pagi-pagi mereka berangkat, berarak awan putih, bersenandung deruh angin. Di tengah jalan, Samir menghujani Ganis dengan pertanyaan-pertanyaan berat seputar ayahnya. Lidah Ganis lincah berkelit seakan telah terlatih menampik lontaran kata-kata tak terduga. Dan akhirnya mereka dapat meregangkan otot yang lelah setelah berjam-jam terhimpit bersama para penumpang dan pedagang yang lalu lalang mengais rizki di sepanjang gerbong kereta. Ganis mengangkat tasnya sembari menatap sekeliling yang tampak hanya wajah-wajah asing dan dedaunan yang lari terburu-buru diusir angin. 
 ” Nis, kita pergi ke rumahku dulu ya? Setelah itu akan kubawa kau ke tempat lain!”.
” Terserah kau sajalah. Aku tak paham arah disini!”, Ganis terdengar pasrah karena ia pun bingung melihat keramaian kota Surabaya. Sesampainya di rumah Samir, mereka beristirahat beberapa saat, lalu Samir mengajak Ganis ke suatu tempat. Ganis tampak segar sekarang. Di balut baju putih brhias bunga-bunga merah muda, kerudung putih, dan bawahan merah muda polos. Ia menyungging senyum manis. Begitupun Samir, ia tampak teduh dengan balutan baju koko putih bersulam benang coklat keemasan di tepian kerah bajunya yang membuat semburat ketampanannya begitu bercahaya. Mereka berjalan beriringan dan sebuah jarak membatasi keduanya. Ganis sempat melongo sesaat setelah tiba di tempat tujuan. 
” Kenapa kita ke rumah sakit?”, Ganis bertanya polos.
“ Kita akan mengunjungi kerabat dekat ibu disini”, jelas Samir singkat.
Ganis mulai terganggu dengan bau obat-obatan yang terus saja bergantungan di ujung bulu hidungnya. 
” Assalamu’alaikum”, mereka memberi salam serempak.
Ganis melihat sesosok lelaki terbujur lemah, wajahnya pucat pasi, tubuhnya kurus, dan di iringi setumpuk obat terjajar rapi. Lelaki itu tak tampak terlalu tua tapi tubuhnya kering tak bertenaga. Ganis menempelnya pandangannya lekat-lekat pada lelaki itu.
” Kau kenapa, Nak?”, tanya lelaki kurus itu. 
” Ah, tidak apa-apa kok, Pak!”, Ganis segera menampik pertanyaan bapak itu.
Ganis membasahi bibirnya, ia tak begitu nyaman berada disana.
” Pasti kau sedang memikirkan seseorang, apakah kau memikirkan ayahmu?”, Samir berucap tiba-tiba. Sedari tadi ia terus membicarakan ayah Ganis. Mungkin Samir tak tahu bahwa sakit bila mengingat ayah yang telah meninggalkannya sejak kecil. 
” Benarkah itu, Nak?”, tanya bapak itu menyelidik.
” Ya, benar. Aku mengingat betapa ia sangat kejam kepadaku. Mungkin sekarang ia seumuran bapak. Entah ini rasa benci atau rasa sayang, ayah telah aku anggap mati sedari dulu. Dia tak tahu, air mata ibu selalu menetes tiap malam, kami hidup susah mencari nafkah kesana kemari. Sedangkan ia begitu santai melenggang pergi tanpa beban. Aku rindu, tapi aku tak ingin melihat wajahnya yang telah aku lupakan itu barang sedetik saja”. Ganis menghela napas panjang, dahinya berkerut, matanya sembab, dan wajahnya memerah. 
” Aku yakin hatimu sangat menyayanginya, Ganis. Semua yang kau ucapkan hanyalah luapan rasa kesal sesaat”, Samir meredam suasana pilu itu. Ia menerawang jauh ke dalam hati Ganis yang sebenarnya lembut.
” Apakah kau masih membencinya? Walau seandainya dia tergolek lemah seperti aku ini? Apa tak ada maaf untuknya?”, lelaki itu bertanya dengan nada iba.
“ Tidak, tidak ada kata maaf baginya. Lebih dari dua puluh tahun dia meninggalkan aku dan ibu, tak terbesit di benaknya untuk melirik hidup kami sekalipun”.
” Mungkin kamu akan menyesal jika terus menaruh dendam pada seseorang. Maafkanlah dia, Nak!”, bapak itu berbicara seperti memohon.
Tak lama kemudian bapak itu mencoba menggapai lengannya.
” Bisakah kau bantu bapak, Nak? Bapak inginj mengajakmu ke suatu tempat di kota Surabaya ini”, bapak itu meminta dengan iba. 
Awalnya dokter tak mengizinkannya keluar rumah sakit, tapi akhirnya janji itu dia genggam juga di tangan. Mereka pergi ke sebuah tempat yang ramai, kotor, dan agak bau.
” Inilah tempat bapak mengingat keluarga bapak, Nak. Bapak punya janji pada anak bapak untuk membawanya kemari”, jelas bapak itu sembari mengusap air mata yang hampir menetes. 
” Ini pasar apa, Pak?”, tanyanya bernada berat.
” Ini pasar Kerampung , Nak!”.
Sebuah anak panah seakan tertancap pada ulu hatinya. Sontak matanya terbelalak selebar-lebarnya. Terkuak kembali kisah masa lalu yang pahit bersama ayahnya. Sebuah janji yang belum pernah dan tak bisa ia tagih. 
” Inikah yang akan kau perlihatkan padaku ayah? Apa yang akan kau ajarkan disini? Dan kapan janji itu akan kau penuhi?”, Ganis berbicara dalam hati. Air matanya berlomba lompat keluar. Segera ia sisihkan air matanya dan kembali ke rumah sakit.
“ Pak, saya permisi keluar dulu mencari minum. Bapak istirahat sebentar ya!”, pintanya penuh kasih. Gadis itu segera melesat mencari buruannya. Tak beberapa lama ia tiba di kamar bapak tadi. Matanya melihat setiap orang. Pandangannya menyebar ke sekeliling. Mereka semua terisak. Samir mendekat dengan mata bengkak dan wajahnya merah. 
” Maafkan aku, Nis. Aku telah berbohong padamu, tapi percayalah, ini permintaan beliau. Kamu harus sabar. Lihatlah, bapak itu telah memenuhi janjinya pada anaknya. Dia telah meminta maaf pada anaknya. Maka sekarang dia pergi setelah melakukan tujuan akhirnya”.
Ganis merasa sedih tapi ia tak mengerti.
” Baliau ayah kamu, Ganis!”. 
Kata-kata Samir membuat Ganis menoleh penuh kejut. Tanpa berkata apapun, tubuhnya tak berdaya. Air matanya bersenandung duka, hatinya mati rasa, tgubuhnya kaku, langit telah runtuh, tapi ia tak merasakannya. Air mata para malaikat jatuh sederas-desarnya berirama suara petir tanda cambuk Izroil merajam para iblis.
“ Aku mengenal beliau semenjak pindah ke kota. Kata-katanya bagaikan untaian mutiara yang di kalungkan pada lehermu. Beliau selalu melihatmu dari jauh. Belaianmu dengan perantara angin. Masihkah kau membencinya? Janjinya telah di tepati”.
Tak sepatah katapun teruntai. Untuk berkedip pun Ganis tak sanggup. Hanya sesal yang terasa. Ia membayangkan betapa sakit hati ayahnya ketika ia mengatakan tak ada maaf bagi ayah yang sesungguhnya mengagungkan keberadaannya.
” Pesanku padamu, jangan biarkan rasa dendam mendarahdaging di hatimu. Minta dan beriaknlah maaf sebelum semuanya terlambat. Karena jka itu terjadi, maka hanya sesal yang tersisa”.




0 komentar: